Search This Blog

Monday, September 6, 2010

Listening Aggressively, Mendengar dengan Hati

Tulisan ini dicuplik dari koran Kompas, Klasika, Karier tanggal 28 Agustus 2010, halaman 37.

Demikian cuplikan lengkapnya :

Listening Aggressively: Mendengar dengan Hati
tips karier with Rene Suhardono

Semakin dipikirkan semakin saya sadar begitu banyak hal berada di luar jangkauan pemikiran saya. Jangankan hal-hal yang memang njelimet secara umum seperti fisikan kuantum, rumus kimia dan algoritma PageRank andalan Google, minggu lalu saya sempat dibuat bingung dengan perhitungan pajak pembangunan rumah tinggal kami. Saya juga (lebih) gap-tek dalam mengoperasikan iPad dibandingkan anak saya, Priyanka. Saya juga tidak paham (karena tidak tertarik) sedikitpun soal mesin, istri saya, Intan Yamuna, jauh lebih piawai dan peduli soal "kesehatan" mobil kami.

In life, you only really know the road if you have traveled it. Itu baru untuk hal-hal yang saya tahu saya tidak tahu, atau tidak mau tahu. Saya yakin labeih banyak lagi hal-hal yang saya bahkan tidak akan pernah tahu. Pekerjaan dan karir juga sama. We Know something, we don't know far greater things. Sahabat saya Reza Gunawan sering kali berujar, "Kenapa selalu berpikir orang lain harus tahu dan paham segalanya (terutama mengenai kepentingan diri sendiri) ?"

Not knowing is never the issue. Not willing to listen has always been the problem. Teman merangkap penerbit buku saya, Najelaa Shihab, menerapkan teknik mendengar secara agresif dalam berinteraksi dengan anak-anak. Saya berandai Mbak Elaa membuka kelas bagi kita semua untuk jadi penelaah, penyimak dan pendengar yang (lebih) baik, kenapa ? karena begitu banyak persoaal dalam dunia kerja yang bisa diselesaikan dengan relatif mudah apabila semua pihak bersedia mendengar sedikit lebih baik. Sesulit apapun problem antar manusia, tidak ada yang mustahil untuk dituntaskan. Syaratnya cuma satu: PEDULI.

A good listener listens with his ears. A great listeners listens with his heart. Saat berbicara kita bicara hal-hal yang sudah kita ketahui. Namun saat mendengar, kita akan mengetahui hal-hal yang diketahui orang lain. Memilih untuk diam dan mendengarkan punya kekuatan lebih dahsyat dibandingkan memaksakan diri untuk bicara. Nggak percaya ? Konstruksi tubuh manusia dengan 2 telinga dan 1 mulut memberikan gambaran ideal rasio mendengar : bicara.

To learn from other people's mistakes is good because we can never live long enough to make all of them ourselves. Bertanya walaupun sedikit, juga akan lebih baik daripada berpikir tahu jawaban untuk semua pertanyaan. Apabila kita mengajukan pertanyaan salah, bisa jadi jawabannya juga salah. Namun, apabila kita terus bertanya, saya yakin semua akan terjawab.

You never have to explain something that has not been said. Sebagian besar orang tidak akan keberatan kalau kita memilih diam. Ada kalanya tidak bicara apapun walaupun dikira bodoh masih lebih baik (dan menguntungkan) daripada berceloteh dan segalanya akan terungkap termasuk kebodohan diri.

Sangat jarang ada orang lebih cerewet dri saya. Sehingga sepatutnya tulisan ini ditujukan kepada diri sendiri. Tapi kalau anda sedang membaca Kompas Sabtu ini, let's promise to listen more with our hearts

No comments:

Post a Comment

Glad if you could give me a feedback :), cheers matey..