Search This Blog

Tuesday, August 24, 2010

Renungan : Kemutlakan vs Tanpa kemutlakan

Perenungan ini saya dapatkan dengan mempertaruhkan landasan, pijakan dan pandangan hidup saya.

Problem yang muncul kira-kira demikian :
Ketika kita menjadi orang yang (merasa) punya prinsip dan pegangan yang sangat kokoh, (merasa) sudah menemukan pijakan yang tidak bisa / sulit dibengkokkan, sulit diyakinkan untuk berpindah prinsip, maka orang otomatis akan menjadi kurang suka pada kita.
Kelihatannya tidak toleran, kaku, padahal 'toleran' tetap bisa diwujudkan dengan menerima perbedaan tanpa harus menyetujui prinsip yang berbeda.

Prinsip pun punya jenjang... kadang kita (merasa) memiliki prinsip yang 'lebih tinggi' daripada orang yang lain, tapi tetap kita punya 'lubang-lubang' yang banyak di prinsip-prinsip / konsep-konsep yang sederhana.
--> tentu saja kelemahan seperti ini tidak secara otomatis membuktikan prinsip yang 'lebih tinggi' tadi salah bukan ?
Bukankah pencarian kesempurnaan, introspeksi dan perbaikan diri adalah 'makanan seumur hidup' yang harus kita jalani ? Tapi tentu tidak setiap perbaikan diri selalu harus mengubah prinsip / paradigma kita ?

Bagaimana dengan 'serangan' lain, yaitu bahwa "TIDAK ADA SATUPUN YANG MUTLAK", atau lebih  tajam lagi : tidak ada sesuatu hal pun yang tidak multi-tafsir, karenanya janganlah berpegang teguh pada satu prinsip, tidak ada satu prinsip pun yang benar di setiap kesempatan.... kita harus luwes dan bisa 'mengendarai' perubahan.
Bagaimana jika ini ditanyakan kepada anda, yang kebetulan sudah memiliki iman (agama) tertentu ?

Saya akan menjawab demikian :
Pasti ada kemutlakan, pasti ada satu penafsiran yang terbenar dan tertepat, bersyukurlah orang yang sudah (merasa) menemukannya.
Keharusan untuk menerima adanya 'penafsiran yang lain' itu pun sebenarnya adalah sebuah tindakan intoleran, sebuah pemaksaan kemutlakan !

Kenapa demikian ? karena tentu saja, "pelarangan" terhadap kemutlakan (tulisan bold diatas..) sebenarnya juga adalah sebuah pemaksaan kemutlakan (ie : Yang mutlak adalah Tidak ada yang boleh mutlak).

Frederick Nietzsche, yang sangat fenomenal sebagai bapak Postmodern pun sebenarnya mengakui, bahwa dibalik antusiasmenya memporak-porandakan - demikian saya menggambarkan - otoritas, pengertian tunggal, sebenarnya menekankan 2 hal penting :
1. Ia berusaha membuat manusia lebih kritis, lebih toleran, ie melawan absurditas, (bukan kemutlakan), kebodohan dan penuduhan yang keji, dan tidak berusaha atau bahkan berhasil menyajikan suatu prinsip baru (yang menggantikan) prinsip yang lama.
2. Ia mengakui bahwa pengosongan, penghancur leburan prinsip sebenarnya memiliki satu tujuan tunggal : mengambil alih kekuasaan, mengambil alih kontrol. Sebelumnya kita dikontrol oleh 'orang lain' sekarang kita dikontrol oleh 'diri sendiri' (yang adalah 'orang' yang lain juga... :D).
Atau minimal dengan mengamini konsep Nietzsche, kita bisa 'dikontrol' oleh (konsep) Nietschean tersebut.

Sebagai seorang Katholik, seringkali serangan timbul karena iman Katholik seolah-olah sangat tergantung pada Paus semata. Otoritas pada Paus, kemutlakan ada pada perintah dan pendapat Paus.
Adalah suatu kebodohan ketika kita tunduk pada 'manusia' - Sri Paus, kemutlakan adalah kebodohan, apalagi memutlakkan 'manusia'.

Kadang kita lupa, bahwa kemutlakan selalu ada, paling sedikit di otak kita (subjectivisme).
Orang yang tidak beragama (atheis, ignorance, dll) pun sebenarnya memutlakkan dirinya, yakni percaya pada pikirannya sendiri, mengandalkan pendapat / dirinya sendiri yang disokong oleh keberhasilan (baca : pengalaman hidup) nya.
Iman Katholik mengajak kita untuk 'menyerahkan' dan 'meletakkan' iman kita pada Kristus melalui Gereja dan Sri Paus.

Artinya kemutlakan tidak pernah bisa lepas dari diri kita, minimal dari pikiran kita. Dan sangat tidak bisa dipandang rendah kalau kita 'dengan rela dan sadar' menyerahkan kemutlakan kepada sesuatu / seseorang yang ada di luar diri kita.
Justru penyerahan ini membutuhkan energi dan pemikiran yang lebih menantang dibandingkan percaya pada diri kita sendiri.

Yang seolah-oleh percaya pada semua orang, baik, toleran pada semua orang, sebenarnya tetap percaya pada 'imannya' pada dirinya, bahwa pendapat itu sudah tepat.
Artinya kita tetap boleh punya pendapat dan pendirian masing-masing, dan itu tidak salah, yang kita perlu perbaiki selalu adalah penghormatan dan kesabaran untuk mengerti dan mendengarkan pendapat dan pendirian yang lain, dan terutama tidak memperdebatkan sebagai salah/benar, namun hanya bisa mempertanyakan logika, dasar dari pendirian tersebut.

No comments:

Post a Comment

Glad if you could give me a feedback :), cheers matey..